SISTEM AGRIBISNIS USAHA PERSUTERAAN

30 Apr

Oleh: Linda Mardia Sari (E2DO1113)

  1. I.      PENDAHULUAN

Ulat    sutera    merupakan   salah     satu    sumberdaya    alam    Indonesia. Kebanyakan ulat sutera yang dibudidayakan adalah ulat sutera jenis Bombyx mori untuk penghasil usaha benang sutera. Sutera merupakan suatu komoditi yang dihasilkan dari sejenis ulat. Dalam ordo Lepidoptera terdapat dua kelompok penghasil sutera, yaitu sutera murbei dan sutera non murbei. Ulat sutera yang termasuk ke dalam kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah didomestikasi dan pakannya berasal dari daun murbei, sedangkan  yang termasuk kelompok non murbei atau sutera liar adalah yang belum didomestikasi  dan pakannya bukan daun murbei. Sutera yang berasal dari ngengat liar lebih banyak digemari karena memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan sutera yang sudah didomestikasi.

Usaha persuteraan alam merupakan salah satu kegiatan agribisnis yang mempunyai rangkaian kegiatan yang cukup panjang mulai dari pertanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, prosesing kokon, pemintalan dan pertenunan.  Dengan menempatkan sistem agribisnis sebagai paradigma baru dalam usaha persuteraan, maka usaha persuteraan memiliki subsistem agrbisnis yang lengkap mulai dari pengadaan sarana produksi, budidaya, industri pengolahan, pemasaran dan kelembagaan pendukung.

Adapun manfaat kegiatan persuteraan alam sebagai berikut mudah dilaksanakan dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat, memberikan tambahan pendapatan kepada masyarakat khusunya di pedesaan, memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya, mendukung kegiatan reboisasi dan penghijauan.

Manfaat kegiatan persuteraan ini bisa didapat jika subsistem agribisnis kegiatan ini telah lengkap dan berjalan dengan baik. Oleh karena itu perlu di identifikasi subsistem apa saja yang terlibat pada kegiatan persuteraan dan apa saja permasalahan yang terdapat pada subsistem tersebut.

 

 

 

 

  1. II.   BUDIDAYA ULAT SUTERA

Budidaya ulat sutera dimaksudkan untuk menghasilkan benang sutera sebagai bahan baku pertekstilan. Untuk melaksanakan pemeliharaan ulat sutera, terlebih dahulu dilakukan penanaman murbei, yang merupakan satu-satunya makanan (pakan) ulat sutera, Bombyx mori L.

  1. A.    PERSIAPAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

Sebelum kegiatan pemeliharaan ulat sutera dimulai, beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti : tersedianya daun murbei sebagai pakan ulat sutera, ruang dan peralatan pemeliharaan serta pemesanan bibit/telur ulat sutera.

  1. a.      Penyediaan Daun Murbei :

§   Daun murbei untuk ulat kecil berumur pangkas $ 1 bulan dan untuk ulat besar berumur pangkas 2-3 bulan;

§   Tanaman murbei yang baru ditanam, dapat dipanen setelah berumur 9 bulan;

§   Untuk pemeliharaan 1 boks ulat sutera, dibutuhkan 400-500 kg daun murbei tanpa cabang atau 1.000 – 1.200 kg daun murbei dengan cabang;

§   Daun murbei jenis unggul yang baik untuk ulat sutera adalah : Morus alba, M. multicaulis, M. cathayana dan BNK-3 serta beberapa jenis lain yang sedang dalam pengujian oleh Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan.

  1. b.      Ruangan Peralatan.

§   Tempat pemeliharaan ulat kecil sebaiknya dipisahkan dari tempat pemeliharaan ulat besar;

§   Pemeliharaan ulat kecil dilaksanakan pada tempat khusus atau pada Unit Pemeliharaan Ulat Kecil (UPUK);

§   Ruang pemeliharaan harus mempunyai ventilasai dan jendela yang cukup:

§   Bahan-bahan dan peralatan yang perlu disiapkan adalah : Kapur tembok, kaporit/papsol, kotak/rak pemeliharaan, tempat daun, gunting stek, pisau, ember/baskom, jaring ulat, ayakan, kain penutup daun, hulu ayam, kerta alas, kerta minyak/parafin, lap tangan dan lain-lain;

§   Desinfeksi ruangan dan peralatan, dilakukan 2-3 hari sebelum pemeliharaan ulat sutera dimulai, menggunakan larutan kaporit 0,5% atau formalin (2-3%), disemprotkan secara merata;

§   Apabila tempat pemeliharaan ulat kecil berupa UPUK yang berlantai semen, maka setelah didesinfeksi dilakukan pencucian.

  1. c.       Pesanan Bibit.

§   Pesanan bibit disesuaikan dengan jumlah daun yang tersedia dan kapasitas ruangan serta peralatan pemeliharaan;

§   Bibit dipesan selambat-lambatnya 10 hari sebelum pemeliharaan ulat dimulai melalui petugas / penyuluh atau langsung kepada produsen telur;

§   Apabila bibit/telur telah diterima, lakukan penanganan telur (inkubasi) secara baik agar penetasannya seragam.

Caranya adalah sebagai berikut :

§   Sebarkan telur pada kotak penetasan dan tutup dengan kertas putih yang tipis;

§   Simpan pada tempat sejuk dan terhindari dari penyinaran matahari langsung, pada suhu ruangan 25° -28° C dengan kelembaban 75-85%;

§   Setelah terlihat bintik biru pada telur, bungkus dengan kain hitam selama $ 2 hari

  1. B.     PELAKSANAAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

Kegiatan pemeliharaan ulat sutera meliputi pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar serta mengokonkan ulat.

  1. a.      Pemeliharaan Ulat Kecil

Pemeliharaan ulat kecil didahului dengan kegiatan “Hakitate” yaitu pekerjaan penanganan ulat yang baru menetas disertai dengan pemberian makan pertama.

§   Ulat yang baru menetas didesinfeksi dengan bubuk campuran kapur dan kaporit (95:5), lalu diberi daun murbei yang muda dan segar yang dipotong kecil-kecil;

§   Pindahkan ulat ke sasag kemudian ditutup dengan kertas minyak atau parafin;

§   Pemberian makanan dilakukan 3 kali sehari yakni pada pagi, siang, dan sore hari;

§   Pada setiap instar ulat akan mengalami masa istirahat (tidur) dan pergantian kulit. Apabila sebagian besar ulat tidur ($ 90%), pemberian makan dihentikan dan ditaburi kapur. Pada saat ulat tidur, jendela/ventilasi dibuka agar udara mengalir;

§   Pada setiap akhir instar dilakukan penjarangan dan daya tampung tempat disesuaikan dengan perkembangan ulat;

§   Pembersihan tempat ulat dan pencegahan hama dan penyakit harus dilakukan secara teratur.

Pelaksanaanya sebagai berikut :

§   Pada instar I dan II, pembersihan dilakukan masing-masing 1 kali. Selama instar III dilakukan 1-2 kali yaitu setelah pemberian makan kedua dan menjelang tidur;

§   Penempatan rak/sasag agar tidak menempel pada dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng berisi air, untuk mencegah gangguan semut;

§   Apabila lantai tidak ditembok, taburi kapur secara merata agar tidak lembab;

§   Desinfeksi tubuh ulat dilaksanakan setelah ulat bangun tidur, sebelum pemberian makan pertama.

Penyalur ulat kecil dari UPUK ke tempat pemeliharaan petani / kolong rumah atau Unit Pemeliharaan Ular Besar (UPUB), dilakukan ketika sedang tidur pada instar III. Perlakuan pada saat penyaluran ulat sebagai berikut :

§   Ulat dibungkus dengan menggulung kertas alas;

§   Kedua sisi kertas diikat dan diletakkan pada posisi berdiri agar ulat tidak tertekan;

§   penyaluran ulat sebaiknya dilaksanakan pada pagi atau sore hari.

  1.       b.         Pemeliharaan Ulat Besar.

Kondisi dan perlakuan terhadap ulat besar berbeda dengan ulat kecil. Ulat besar memerlukan kondisi ruangan yang sejuk. Suhu ruangan yang baik yaitu 24-26° C dengan kelembapan 70-75%.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ulat besar adalah sebagai berikut :

§  Ulat besar memerlukan ruangan/tempat pemeliharaan yang lebih luas dibandingkan dengan ulat kecil;

§  Daun yang dipersiapkan untuk ulat besar, disimpan pada tempat yang bersih dan sejuk serta ditutup dengan kain basah;

§  Daun murbei yang diberikan pada ulat besar tidak lagi dipotong-potong melainkan secara utuh (bersama cabangnya).

§  Penempatan pakan diselang-selingi secara teratur antara bagian ujung dan pangkalnya;

§  Pemberian makanan pada ulat besar (instar IV dan V) dilakukan 3-4 kali sehari yaitu pada pagi, siang, sore dan malam hari;

§  Menjelang ulat tidur, pemberian makan dikurangi atau dihentikan. Pada saat ulat tidur ditaburi kapur secara merata;

§  Desinfeksi tubuh ulat dilakukan setiap pagi sebelum pemberian makan dengan menggunakan campuran kapur dan kaporit (90:10) ditaburi secara merata;

§  Pada instar IV, pembersihan tempat pemeliharaan dilakukan minimal 3 kali, yaitu pada hari ke-2 dan ke-3 serta menjelang ulat tidur;

§  Pada instar V, pembersihan tempat dilakukan setiap hari;

§  Seperti pada ulat kecil, rak/sasag ditempatkan tidak menempel pada dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng yang berisi air.

§  Apabila lantai ruangan pemeliharaan tidak berlantai semen agar ditaburi kapur untuk menghindari kelembaban tinggi.

  1.        c.            Mengokonkan Ulat.

Pada instar V hari ke-6 atau ke-7 ulat biasanya akan mulai mengokon. Pada suhu rendah ulat akan lebih lambat mengokon. Tanda-tanda ulat yang akan mengokon adalah sebagai berikut :

§   Nafsu makan berkurang atau berhenti makan sama sekali;

§   tubuh ulat menjadi bening kekuning-kuningan (transparan);

§   Ulat cenderung berjalan ke pinggir;

§   Dari mulut ulat keluar serat sutera.

Apabila tanda-tanda tersebut sudah terlihat, maka perlu di ambil tindakan sebagai berikut :

§   Kumpulkan ulat dan masukkan ke dalam alat pengokonan yang telah disiapkan dengan cara menaburkan secara merata.

§   Alat pengokonan yang baik digunakan adalah : rotari. Seri frame, pengokonan bambu dan mukade (terbuat dari daun kelapaatau jerami yang dipuntir membentuk sikat tabung).

  1. PANEN DAN PENANGANAN KOKON.

Panen dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6 sejak ulat mulai membuat kokon. Sebelum panen, ulat yang tidak mengokon atau yang mati diambil lalu dibuang atau dibakar.

Selanjutnya dilakukan penanganan kokon yang meliputi kegiatan sebagai berikut :

  • Pembersihan kokon, yaitu menghilangkan kotoran dan serat-serat pada lapisan luar kokon;
  • Seleksi kokon, yaitu pemisahan kokon yang baik dan kokon yang cacat/jelek;
  • Pengeringan kokon, yaitu penanganan terhadap kokon untuk mematikan pupa serta mengurangi kadar air dan agar dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu;
  • Penyimpanan kokon, dilakukan apabila kokon tidak langsung dipintal/dijual atau menunggu proses pemintalan.

Cara penyimpanan kokon adalah sebagai berikut :

§   Dimasukkan ke dalam kotak karton, kantong kain/kerta;

§   Ditempatkan pada ruangan yang kering atau tidak lembab;

§   Selama penyimpanan, sekali-sekali dijemur ulang di sinar matahari;

§   Lama penyimpanan kokon tergantung pada cara pengeringan, tingkat kekeringan dan tempat penyimpanan.

 

  1. III.            SUB SISTEM AGRIBISNIS ULAT SUTERA DAN PERMASALAHANNYA
  2. Subsistem Bagian Hulu (upstream  agribusiness)

Subsistem  agribisnis  hulu  (upstream  agribusiness),  yaitu  kegiatan  ekonomi yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri pembibitan/pembenihan hewan dan tumbuhan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak), dan industri agrootomotif (mesin dan peralatan pertanian), serta industri pendukungnya.

Di beberapa daerah dimana usaha persuteraan alam berkembang, pupuk untuk kebun murbei masih sulit didapatkan karena bersaing dengan kebutuhan pupuk pada lokasi pertanian lain. Akibatnya harga pupuk menjadi mahal atau tidak dilakukan pemupukan pada lokasi tanaman murbei sehinga produktivitas tanaman murbei menjadi rendah.

Demikian pula halnya dengan kaporit dan formalin sebagai sarana untuk disinfeksi pada pemeliharaan ulat beberapa waktu sangat sulit didapatkan karena adanya larangan penggunaan kedua zat tersebut, akibatnya banyak ulat sutera pada waktu pemeliharaan terganggu dan memberikan hasil kokon yang rendah.

Selain itu, pada umumnya lembaga-lembaga  yang terkait dengan pengadaan sarana produksi seperti kelompok tani, koperasi unit desa dan lainnya masih kurang berperan. Terbatasnya modal, informasi dan bimbingan serta akses atau kemudaha menjadi kendala utama  dalam pengadaan sarana produksi.

Bibit murbei yang ditanam juga masih bermacam-macam sehingga belum terjamin keunggulannya.

  1. Subsistem Produksi (On-Farm)

Subsistem Produksi (On-Farm) yaitu kegiatan  yang menggunakan  sarana  produksi  pertanian  untuk menghasilkan komoditas  pertanian  primer,  dalam  hal  ini adalah  pohon  murbei sebagai sarana perkembangbiakan ulat dalam menghasilkan kokon ulat sutera.

Budidaya usaha persuteraan alam terdiri dari 2 kegiatan yaitu kegiatan budidaya murbei dan budidaya pemeliharaan ulat sutera.

Pada budidaya murbei, dilakukan secara konvensional dan menggunakan input yang terbatas. Tanaman murbei setelah dipanen untuk penyediaan pakan ulat sutera biasanya hanya dibiarkan tumbuh begitu saja sampai pemanenan berikutnya.

Budidaya ulat sutera dilakukan belum sesuai standar. Banyak petani pemelihara ulat sutera yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah pemeliharaan ulat sutera baik dalam hal kecukupan pakan, kebersihan ruangan untuk pemeliharaan ulat sutera sampai dengan cara pemanenan kokon yang kurang sempurna.

  1. Subsistem Hilir

Subsistem Hilir adalah kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri), berupa kokon ulat sutera menjadi produk olahan baik produk antara berupa benang sutera  yang akan digunakan  untuk memproduksi  kain (intermediate product) maupun produk akhir (finish product) berupa aksesoris yang sudah siap dipakai.

Kokon yang dihasilkan dipintal menjadi menjadi benang sutera dan benang sutera kemudian ditenun menjadi benang. Teknologi dan peralatan produksi yang digunakan untuk kegiatan tersebut masih belum standar.

Akibat dari budidaya yang belum pada subsistem on farm yang tidak mengikuti kaidah budidaya akan menghasilkan kokon dengan mutu yang rendah. Kokon dengan mutu yang rendah sebagai bahan baku pada pemintalan benang sutera akan menghasilkan benang sutera dengan mutu yang rendah pula ditambah lagi dengan kondisi mesin pintal yang.masih belum standar. Akibatnya kain sutera yang dihasilkan pun akan menjadi rendah.

  1. Subsitem pemasaran, yakni kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas  pertanian  hasil  olahan  kokon  ulat  sutera,  baik  di  dalam maupun luar negeri.
  2. Subsistem Pelayanan Pendukung

Subsistem Pelayanan Pendukung adalah subsistem   jasa   yang  menyediakan   jasa  bagi  subsistem   agribisnis   hulu, subsistem  usahatani,  dan  subsistem  agribisnis  hilir.  Termasuk  ke  dalam subsistem ini adalah penelitian dan pengembangan, sistem informasi dan dukungan kebijakan pemerintah (mikroekonomi,  tata ruang, makroekonomi) dalam pengembangan potensi kokon ulat sutera emas. Sehingga dapat menjadikan kokon ulat sutera sebagai komoditi khas Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai centra sutera.

Peran kelembagaan di tingkat petani  masih sangat terbatas. Di tingkat desa dan kecamatan peran kelompok tani dalam agribisnis usaha persuteraan alam masih lemah. Hal ini dapat dilihat dari terbatasnya penyediaan sarana produksi dan permodalan.

 

  1. IV.            KESIMPULAN

Kegiatan  yang  dapat  dilakukan untuk  menggerakan  budidaya sutera adalah dengan menjalankan  perbaikan  beberapa  subsistem,  diantaranya  :  Subsitem agribisnis hulu (upstream agribusiness), Subsistem usahatani atau pertanian primer (on-farm agribusiness), Subsistem    agribisnis     hilir     atau     pengolahan    (downstream agribusiness), Subsitem pemasaran, dan Subsistem Jasa. Pada setiap subsistem  agribisnis tersebut terdapat berbagai permasalahan, antara lain pengadaan sarana produksi yang belum efisien, bibit unggul dan pupuk yang masih sulit diperoleh, teknologi budidaya masih konvensional dan kurang higienis, teknologi pengolahan kokon (pemintalan) masih belum efisien dan peran kelembagaan kelompok tani dan pemasaran masih kurang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Saragih. 2010. Agribisnis : Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. P.T. Penerbit IPB Press. Bogor.

Sukiman, Atmosoedarjo; Kartasubrata, Junus. M. Kaomini; W. Saleh; W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta

 

Leave a comment